Oleh:
Aziz Khan
SUASANA Kutai Barat pagi itu di penghujung 2003 agak ganjil. Pagi berkabut seolah hal baru di sana. Suasana ganjil itu pula yang mewarnai diskusi mengenai Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur. Seperti biasanya, bupati begitu terbuka bisa berbaur lengkap dengan candatawa, melebur dalam semangat kebersamaan membicarakan masa depan kehutanan di sana. diskusi pagi itu suasananya memang benar-benar lain. Bagi sebuah kabupaten baru, seperti Kutai Barat, proses-proses kebersamaan semacam itu, terutama dengan kadar keterlibatan sosok bupati, memang menjadi lain.
Diskusi pagi itu hanyalah satu dari sekian banyak diskusi serupa yang telah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Selama itu pula suasana semacam itu hadir dengan kelebihan dan kekurangannya. “Saya merasa lain pagi ini,” ujar bupati pagi itu. Kelainan yang dimaksud, lebih tertuju pada suasana kebersamaan dalam diskusi pada pagi hari itu, yang memang begitu cair, jadi bukan hanya soal kabut. Dibandingkan dengan diskusi-diskusi awal jauh hari sebelumnya,
“Kita berharap memiliki sebuah program kehutanan yang betul-betul kita pikirkan dan kita olah sendiri,” bupati melanjutkan. Para pihak yang berhimpun saat itu dengan tekun tapi santai mendengarkan arahan bupati. Ketua kelompok kerja lalu dengan tegap melangkah kedepan setelah diminta bupati untuk menyampaikan beberapa catatan kemajuan yang berkaitan dengan proses penyusunan Program Kehutanan Daerah. Ia, lalu memulai “laporannya” dengan menderet nama dan asal peserta yang telah terlibat menurut kelompok asal mereka. “Sebagai sebuah kelompok kerja, komponen para pihak kita cukup lengkap,” akunya. Betapa tidak, dari deretan itu ada pengusaha, masyarakat adat, ornop, akademisi dan bahkan para birokrat Kutai Barat. “Setelah bersusah payah selama berbulan-bulan, bersyukur kita bisa sampai pada hari ini dengan hasil sebagaimana yang anda lihat,” ujarnya bersemangat sambil mengangkat dan mengacung-ngacungkan sebuah buku. Buku itulah rupanya yang dianggap sebagai puncak pencapaian dari proses “kebersamaan” mereka selama itu.
“Kita tidak bisa berhenti disini, justru kita baru akan memulai langkah besar kita ini,” ia melanjutkan. Ada setidaknya 51 langkah yang mereka akui sebagai program, kebjakan, kegiatan dan bahkan tindakan untuk mengurus hutan mereka kedepan. Dari daftar itu, memang ada warna dan semangat untuk benar-benar mengurus hutan di masa depan secara lebih bijak. Sesuai visi-misi yang diperoleh selama proses, daftar itu juga memperlihatkan orientasi mereka dalam pengelolaan hutan yang memang mengerucut pada dua hal: pengelolaan hutan yang lestari-berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam buku itu pula teridentifikasi sejumlah aktor pelaksana, tata waktu, dan bahkan hambatan bagaimana mereka akan mengkonkretkan pelaksanaan lebih lanjut ide dan impiannya tentang hutan mereka.
Seorang ibu yang masih tergolong muda dan mengaku mewakili masyarakat adat setempat tampak sumringah, setelah mendapat penjelasan panjang lebar, kemana kira-kira arah kehutanan itu.
“Berarti aku akan mendapat kesempatan yang lebih bagus untuk bisa mengambil manfaat hutan itu kedepan,” gumamnya. Namun dalam sejurus, ia juga menunjukkan kegundahan yang tidak bisa dianggap sepi. Ada sedikit keheranan yang ia rasakan saat menimbang-nimbang realitas yang terjadi bersamaan dengan proses kebersamaan dan sekaligus dengan apa yang telah menjadi isi buku itu. Ia lalu bertanya pada kawan di sebelahnya, “Apa buku itu sudah benar-benar mencakup keberadaan Kutai Barat, sebagai kabupaten baru?” Apa betul hutan kita bisa lestari dan bermanfaat terus menerus setelah ini?” begitulah ia terus bertanya dan bergumam, sampai akhirnya ngeloyor sendiri menjauhi keriuhan diskusi yang pagi itu terasa bagai pesta meriah merayakan sebuah kemenangan.
Terdengar pula beberapa kawan lain yang bergumam seperti ibu muda itu. Kekhawatiran yang naga-naganya lebih dipicu oleh setidaknya dua fenomena: Di satu sisi adalah inisiatif penyusunan program kehutanan daerah secara partisipatif yang mendapat dukungan dan keterlibatan langsung para pihak termasuk bupati waktu itu, di sisi lain ada realitas objektif yang tampak di hadapan mereka yang terus berjalan bersamaan, terkait pengelolaan kehutanan di sana. Dua sisi inilah akhirnya yang tampaknya menjadi pemicu bagi mereka untuk terus memasang mata dan bahkan menakar lebih lanjut seputar semangat dan konsistensi antara apa yang berkembang dalam proses kebersamaan dan hasilnya dengan apa yang sebenarnya (sedang) terjadi (waktu itu).
Program Kehutanan Daerah Kutai Barat
Sekilas Kutai Barat
Hampir bersamaan dengan bergulirnya desentralisasi dan otonomi daerah (UU22/99 waktu itu), Kutai Barat baru saja terbentuk melalui UU 47/99 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai. Dalam pemekaran ini, Kabupaten Kutai kemudian berubah nama menjadi Kutai Kertanegara. Kutai Barat dengan ibu kota Melak (disebut juga Sentawar) saat itu termasuk kabupaten termuda di Kalimantan Timur.
Luas kabupaten ini sekitar 3.3 juta ha (berdasar rencana tata ruang wilayah/ RTRW 3.16 juta ha) terdiri dari 15 kecamatan dan 205 desa. Dari keseluruhan wilayah, 76% kabupaten ini merupakan kawasan budidaya kehutanan (KBK) terdiri dari hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan konservasi. Sisanya merupakan kawasan non kehutanan (kawasan budidaya non kehutanan, KBNK). Hutan merupakan sumberdaya alam (SDA) penting kabupaten ini, baik secara ekonomi apalagi dari sisi fungsi ekologis. Potensi ekonomi lainnya mencakup pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, tambang dan wisata.
Penduduk kabupaten ini per 1999, mencapai total 160.000 jiwa dengan pendapatan perkapita sebesar Rp 6 juta. Besar PDRB tahun yang sama sebesar Rp 7.9 juta per kapita. Mata pencaharian umumnya petani ladang, petani karet, penambang emas, dan sarang burung walet. Alternatif mata pencaharian lain mencakup berburu, pengumpul damar dan hasil hutan non kayu lainnya, beternak, kerajinan rotan, dan wisata.
Sumberdaya hutan dikelola baik oleh swasta (hak pengusahaan hutan/HPH, ijin pemanfaatan kayu/IPK dan hutan tanaman industri/HTI) maupun oleh masyarakat adat/setempat (hak pengusahaan hasil hutan/HPHH). Luas keseluruhan hutan yang diusahakan HPH mencakup 1.5 juta ha total 25 unit (4 diantaranya tidak operasi) tersebar di hampir keseluruhan 15 kecamatan yang ada di Kutai Barat. Sedangkan jumlah konsesi HTI mencapai 18 unit yang juga tersebar di hampir keseluruhan kecamatan di kabupaten ini. Tercatat pula ada 622 unit HPHH dengan total luas 62,200 ha. Sebagian besar izin HPHH ini diberikan oleh Kabupaten Kutai sebelum pemekaran. Dari April sampai Desember 2000, pendapatan kabupaten ini dari sumberdaya hutan mencapai Rp. 20.7 milyard (provisi sumberdaya hutan/PSDH) dan Rp. 5.25 milyar (dana reboisasi/DR). Data 2001 menunjukkan total pendapatan dari sumberdaya hutan/SDH ini melonjak hingga Rp 243 milyar, merupakan 60% dari keseluruhan sektor pertanian.
Permasalahan SDA yang paling menonjol antara lain konflik penggunaan lahan, klaim atas sumberdaya alam, ketidakpastian batas desa, ketidak sesuaian RTRW, ketidak serasian antara hukum formal dengan aturan yang berlaku di masyarakat (adat). Termasuk dalam permasalahan SDA ini adalah tumpang tindih alokasi pemanfaatan lahan antara KBK dan KBNK. Secara keseluruhan, terdapat sekitar 250an macam konflik di hampir keseluruhan kecamatan di Kutai Barat. Keseluruhan konflik ini umumnya disebabkan oleh benturan kepentingan akan SDA. Beberapa contoh konflik, antara lain (Potret Kehutanan Kutai Barat, 2001):
Kasus ini ditulis oleh Azis Khan, konsultan sumber daya alam, Kebijakan Ekonomi dan Pemerintahan, di bawah bimbingan Ahmad D.Habir,Ph.D, Dekan Fakultas Manajemen-Swiss German University, sebagai bagian dari program Promoting Leadership for Integrated Development yang didukung oleh Ford Foundation Indonesia. Semua materi yang terkandung di dalam artikel ini dipersiapkan semata-mata hanya untuk tujuan pembelajaran. Kasus ini tidak dimaksudkan atau dirancang sebagai gambaran yang menunjukkan sebuah praktek yang benar atau salah. Demi beberapa alasan, tokoh dalam tulisan ini memang sengaja disamarkan.
Hak Cipta © 2007 dimiliki oleh Yayasan Pembangunan Berkelanjutan